Jum`at, 21 September 2018.
Ua Nènèng, demikian panggilan akrabnya bagi penulis, sebagai anak dari adik bilateralnya. Bernama asli: Nani Salbiah. Namun olèh para keluarga dan kerabat segenerasinya akrab dipanggil dengan sebutan: Nanan. Apakah anak pertama secara bilateral dari Ibu Kandung penulis ?.
Dalam kapasitas tulisan ini, penulis ditempatkan sebagai suan (anak adiknya), dan sebagai saudara sepersusuan dari kedua orang anak yang sama-sama diberinya ASI (Air Susu Ibu): Hèry Herdianto dan Muhammad Syafaat, penulis terbatas pernah disusui olèh Wa Nènèng selama sekitar 1 tahun penuh, pada saat Ibu Kandung penulis sibuk bekerja sama dengan Bapa Budi Priyatna.
Selama ini penulis belum pernah mendapatkan informasi tentang apa yang saya cari dari Ibu Kandung penulis. Sanad yang diketahui dari generasi akar (leluhur) dari orang tua Ibu Kandung penulis, terhenti pada kakè penulis: Aki Èndi. Namun, keterangan dari Wa Nènèng ini memperkaya heuristik yang penulis lakukan.
Ayah dari Ibu Kandung dan Uwa Matrilinèal penulis, bernama (+ Aki) Mochammad Èndi bin Mantawijaya (Mantawidjaya, - èditasi Penulis) bin (+ Aki) Pura.
Aki Pura berasal dari Sukabumi, tepatnya di daèrah Kebon Jati. Para karuhun (leluhur-leluhur) di sana memiliki sanad dari Aki Pura. Uwa Nènèngamati hal ini berhubungan dengan diajak ke tempat olèh Aki Èndi. Seperti Mamah (Ibu Kandung Penulis) belum pernah. Uwa menambahkan keterangan bahwa di Kebon Jati itu telah membeli olèh Dèsy Ratnasari, seorang artis senior suara.
Peninggalan yang diberi Uwa Nènèng dari Ayah Kandungnya (Aki Èndi), adalah skil mengobati, dengan tèhnik pemijatan. Tèhnik pengobatan yang dipunyai olèh Wa Nènèng berbèda dengan apa yang ditemukan olèh Uwa Nènèng tersembunyi Aki Èndi. Uwa Nènèng kriteria bahwa Aki Èndi memiliki Ilmu Halimunan, praktek ilmu yang biasanya dimiliki olèh pala sepuh kapungkur (para leluhur). Selain Halimunan, Aki Èndi juga memiliki kemampuan guna untuk mengetahui hal-hal yang ghoib, seperti pada saat menjelang wafatnya.
Dari pernikahan yang dilakukan dengan wanita bernama Orang Sukabumi, bernama Siti Fatimah, Aki Èndi memiliki seorang anak perempuan, bernama Kokom Komariah. Penulis menyebutnya dengan panggilan Uwa Kokom.
Kemudian setelah bercerai dengan istri awal, Aki Èndi menikah dengan seorang perempuan bernama Èmi Suhaèmi, Orang Sukabumi, janda beranak satu bernama Èti, penulis memanggilnya dengan sebutan: Uwa Èti.
Mengenai Nènè tiri ke-dua ini, penulis dan para saudara segenerasi shof penulis memanggilnya dengan panggilan: Mamih Emin. Mamih Emin memiliki seorang ibu Orang Jampang Kulon, yaitu daèrah menuju ke Banten.
Sehubungan tiada memiliki anak dari hasil pernikahannya dengan Mamih Emin, Aki Èndi meminta izin menikah lagi, berpoligami. Mamih Emin mengizinkan. Maka Aki Èndi menikahi seorang perempuan, gadis, Orang Bandung, bernama: Tintin Sumarni bin Sukaatmadja.
Dari pernikahan ke-tiganya inilah Aki Èndi dikaruniai 3 orang anak: 2 anak perempuan, yaitu Nani Salbiah, dan Nina Yulia, serta seorang anak laki-laki bernama Dadang Agusni.
Nani Salbiah, penulisnya dengan sebutan: Wa Nènèng, mengeluarkan pada tahun 1956 Masèhi.
Nina Yulia, penulis panggilannya dengan sebutan: Mamah Nina, mengeluarkan pada tahun 1958 Masèhi.
Dadang Agusni, penulis panggilannya dengan sebutan: Mang Dadang, kebebasan pada tahun 1960 Masèhi.
Sekarang kita membahas sebuah "jika sejarah", yaitu:
1. Jika ada masalah dalam hubungan pernikahan yang ada antara Ibu dan penulis dengan Ayah Kandung Penulis, namun tidak memproduksinya dalam NA (Nikah Atas / Nikah Aqad) yang syah. Maksud Penulis, Ubah adik dari Wa Nènèng adalah laki-laki yang menjadi Ayah Kandung Penulis, namun Ibu Kandung Penulis hamilnya sebelum adanya Akad Nikah. Kata kunci adalah anak li`an yang dikandung sebelum memuaskan ikatan pernikahan (munakahat).
2. Dan misalnya penulis adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan, bukan laki-laki. Apakah disusuinya penulis olèh Uwa Penulis telah menyambungkan orang-orang yang terputus ke antara para penulis dengan Ayah Penulis (pemisalan sebelumnya, bahwa adiknya Uwa Nènèng yang menjadi orang tua penulis adalah Ayah Kandung Penulis, bukan Ibu Kandung Penulis), dan penulis dengan anak-anak kandung Wa Nènèng adalah muhrim patrilinèal, meskipun pada awalnya status Hukum Islam dalam mawaris, status kelahiran penulis adalah anak li`an ?.
Terhadap jawaban pemisalan 1 dan 2, beberapa penulis mengajukan jawaban: Ya.
Artinya, apa yang terjadi pada Nabi Muhammad tentang Ibu Susunya, Halimahtus Saudah, adalah solusi yang tepat untuk masalah-masalah gènèalogi yang konèksi-konèksi patrilinèalnya terputus secara teliti Hukum Munakahat dan Mawaris. Islam ternyata selalu memberikan solusi atas setiap masalah yang terjadi pada para pemeluk yang percayaininya.
Bukti Maha Adil Alloh. Dengan penyusuan yang dilajukan olèh salahsatu saudara kandung perempuan dari Ayah yang terputus sanad patrilinèalnya, maka akan bisa konèksi kemuhriman untuk seluruh tunas tunas.
Dan adanya legitimasi kemuhriman melalui ASI, akan menyebabkan terjalinnya keabsahan perwalian, pewarisan, serta hal-hal lain dalam dimènsi Fiqih.
Ternyata ada resèp pengobatan khusus yang Ibu Susuk siratkan dalam hal ini. Ini kasus yang jarang tersurat secara cerdas. Malah ada yang berantakan, hanya vonis dan vonis saja yang dibiasakan menerima olèh masyarakat, yang jarang mendapatkan solusi.
Nuhun, Uwaku, Ibu Susuku.
Bandingkan:
Materilinère dan Matrilinèal Dalam Masa Rèvolusi Indonèsia.
Lihat:
Saving account dari Hèry Hèrdianto.
Ua Nènèng, demikian panggilan akrabnya bagi penulis, sebagai anak dari adik bilateralnya. Bernama asli: Nani Salbiah. Namun olèh para keluarga dan kerabat segenerasinya akrab dipanggil dengan sebutan: Nanan. Apakah anak pertama secara bilateral dari Ibu Kandung penulis ?.
Dalam kapasitas tulisan ini, penulis ditempatkan sebagai suan (anak adiknya), dan sebagai saudara sepersusuan dari kedua orang anak yang sama-sama diberinya ASI (Air Susu Ibu): Hèry Herdianto dan Muhammad Syafaat, penulis terbatas pernah disusui olèh Wa Nènèng selama sekitar 1 tahun penuh, pada saat Ibu Kandung penulis sibuk bekerja sama dengan Bapa Budi Priyatna.
Selama ini penulis belum pernah mendapatkan informasi tentang apa yang saya cari dari Ibu Kandung penulis. Sanad yang diketahui dari generasi akar (leluhur) dari orang tua Ibu Kandung penulis, terhenti pada kakè penulis: Aki Èndi. Namun, keterangan dari Wa Nènèng ini memperkaya heuristik yang penulis lakukan.
Ayah dari Ibu Kandung dan Uwa Matrilinèal penulis, bernama (+ Aki) Mochammad Èndi bin Mantawijaya (Mantawidjaya, - èditasi Penulis) bin (+ Aki) Pura.
Aki Pura berasal dari Sukabumi, tepatnya di daèrah Kebon Jati. Para karuhun (leluhur-leluhur) di sana memiliki sanad dari Aki Pura. Uwa Nènèngamati hal ini berhubungan dengan diajak ke tempat olèh Aki Èndi. Seperti Mamah (Ibu Kandung Penulis) belum pernah. Uwa menambahkan keterangan bahwa di Kebon Jati itu telah membeli olèh Dèsy Ratnasari, seorang artis senior suara.
Peninggalan yang diberi Uwa Nènèng dari Ayah Kandungnya (Aki Èndi), adalah skil mengobati, dengan tèhnik pemijatan. Tèhnik pengobatan yang dipunyai olèh Wa Nènèng berbèda dengan apa yang ditemukan olèh Uwa Nènèng tersembunyi Aki Èndi. Uwa Nènèng kriteria bahwa Aki Èndi memiliki Ilmu Halimunan, praktek ilmu yang biasanya dimiliki olèh pala sepuh kapungkur (para leluhur). Selain Halimunan, Aki Èndi juga memiliki kemampuan guna untuk mengetahui hal-hal yang ghoib, seperti pada saat menjelang wafatnya.
Dari pernikahan yang dilakukan dengan wanita bernama Orang Sukabumi, bernama Siti Fatimah, Aki Èndi memiliki seorang anak perempuan, bernama Kokom Komariah. Penulis menyebutnya dengan panggilan Uwa Kokom.
Kemudian setelah bercerai dengan istri awal, Aki Èndi menikah dengan seorang perempuan bernama Èmi Suhaèmi, Orang Sukabumi, janda beranak satu bernama Èti, penulis memanggilnya dengan sebutan: Uwa Èti.
Mengenai Nènè tiri ke-dua ini, penulis dan para saudara segenerasi shof penulis memanggilnya dengan panggilan: Mamih Emin. Mamih Emin memiliki seorang ibu Orang Jampang Kulon, yaitu daèrah menuju ke Banten.
Sehubungan tiada memiliki anak dari hasil pernikahannya dengan Mamih Emin, Aki Èndi meminta izin menikah lagi, berpoligami. Mamih Emin mengizinkan. Maka Aki Èndi menikahi seorang perempuan, gadis, Orang Bandung, bernama: Tintin Sumarni bin Sukaatmadja.
Dari pernikahan ke-tiganya inilah Aki Èndi dikaruniai 3 orang anak: 2 anak perempuan, yaitu Nani Salbiah, dan Nina Yulia, serta seorang anak laki-laki bernama Dadang Agusni.
Nani Salbiah, penulisnya dengan sebutan: Wa Nènèng, mengeluarkan pada tahun 1956 Masèhi.
Nina Yulia, penulis panggilannya dengan sebutan: Mamah Nina, mengeluarkan pada tahun 1958 Masèhi.
Dadang Agusni, penulis panggilannya dengan sebutan: Mang Dadang, kebebasan pada tahun 1960 Masèhi.
Sekarang kita membahas sebuah "jika sejarah", yaitu:
1. Jika ada masalah dalam hubungan pernikahan yang ada antara Ibu dan penulis dengan Ayah Kandung Penulis, namun tidak memproduksinya dalam NA (Nikah Atas / Nikah Aqad) yang syah. Maksud Penulis, Ubah adik dari Wa Nènèng adalah laki-laki yang menjadi Ayah Kandung Penulis, namun Ibu Kandung Penulis hamilnya sebelum adanya Akad Nikah. Kata kunci adalah anak li`an yang dikandung sebelum memuaskan ikatan pernikahan (munakahat).
2. Dan misalnya penulis adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan, bukan laki-laki. Apakah disusuinya penulis olèh Uwa Penulis telah menyambungkan orang-orang yang terputus ke antara para penulis dengan Ayah Penulis (pemisalan sebelumnya, bahwa adiknya Uwa Nènèng yang menjadi orang tua penulis adalah Ayah Kandung Penulis, bukan Ibu Kandung Penulis), dan penulis dengan anak-anak kandung Wa Nènèng adalah muhrim patrilinèal, meskipun pada awalnya status Hukum Islam dalam mawaris, status kelahiran penulis adalah anak li`an ?.
Terhadap jawaban pemisalan 1 dan 2, beberapa penulis mengajukan jawaban: Ya.
Artinya, apa yang terjadi pada Nabi Muhammad tentang Ibu Susunya, Halimahtus Saudah, adalah solusi yang tepat untuk masalah-masalah gènèalogi yang konèksi-konèksi patrilinèalnya terputus secara teliti Hukum Munakahat dan Mawaris. Islam ternyata selalu memberikan solusi atas setiap masalah yang terjadi pada para pemeluk yang percayaininya.
Bukti Maha Adil Alloh. Dengan penyusuan yang dilajukan olèh salahsatu saudara kandung perempuan dari Ayah yang terputus sanad patrilinèalnya, maka akan bisa konèksi kemuhriman untuk seluruh tunas tunas.
Dan adanya legitimasi kemuhriman melalui ASI, akan menyebabkan terjalinnya keabsahan perwalian, pewarisan, serta hal-hal lain dalam dimènsi Fiqih.
Ternyata ada resèp pengobatan khusus yang Ibu Susuk siratkan dalam hal ini. Ini kasus yang jarang tersurat secara cerdas. Malah ada yang berantakan, hanya vonis dan vonis saja yang dibiasakan menerima olèh masyarakat, yang jarang mendapatkan solusi.
Nuhun, Uwaku, Ibu Susuku.
Bandingkan:
Materilinère dan Matrilinèal Dalam Masa Rèvolusi Indonèsia.
Lihat:
Saving account dari Hèry Hèrdianto.
No comments:
Post a Comment