By: Yusni Tria Yunda.
Documents source by: Budi Priyatna.
Saturday, December 29, 2018
Friday, September 21, 2018
Mochammad Èndi: Keturunan Sukabumi di Bandung
Jum`at, 21 September 2018.
Ua Nènèng, demikian panggilan akrabnya bagi penulis, sebagai anak dari adik bilateralnya. Bernama asli: Nani Salbiah. Namun olèh para keluarga dan kerabat segenerasinya akrab dipanggil dengan sebutan: Nanan. Apakah anak pertama secara bilateral dari Ibu Kandung penulis ?.
Dalam kapasitas tulisan ini, penulis ditempatkan sebagai suan (anak adiknya), dan sebagai saudara sepersusuan dari kedua orang anak yang sama-sama diberinya ASI (Air Susu Ibu): Hèry Herdianto dan Muhammad Syafaat, penulis terbatas pernah disusui olèh Wa Nènèng selama sekitar 1 tahun penuh, pada saat Ibu Kandung penulis sibuk bekerja sama dengan Bapa Budi Priyatna.
Selama ini penulis belum pernah mendapatkan informasi tentang apa yang saya cari dari Ibu Kandung penulis. Sanad yang diketahui dari generasi akar (leluhur) dari orang tua Ibu Kandung penulis, terhenti pada kakè penulis: Aki Èndi. Namun, keterangan dari Wa Nènèng ini memperkaya heuristik yang penulis lakukan.
Ayah dari Ibu Kandung dan Uwa Matrilinèal penulis, bernama (+ Aki) Mochammad Èndi bin Mantawijaya (Mantawidjaya, - èditasi Penulis) bin (+ Aki) Pura.
Aki Pura berasal dari Sukabumi, tepatnya di daèrah Kebon Jati. Para karuhun (leluhur-leluhur) di sana memiliki sanad dari Aki Pura. Uwa Nènèngamati hal ini berhubungan dengan diajak ke tempat olèh Aki Èndi. Seperti Mamah (Ibu Kandung Penulis) belum pernah. Uwa menambahkan keterangan bahwa di Kebon Jati itu telah membeli olèh Dèsy Ratnasari, seorang artis senior suara.
Peninggalan yang diberi Uwa Nènèng dari Ayah Kandungnya (Aki Èndi), adalah skil mengobati, dengan tèhnik pemijatan. Tèhnik pengobatan yang dipunyai olèh Wa Nènèng berbèda dengan apa yang ditemukan olèh Uwa Nènèng tersembunyi Aki Èndi. Uwa Nènèng kriteria bahwa Aki Èndi memiliki Ilmu Halimunan, praktek ilmu yang biasanya dimiliki olèh pala sepuh kapungkur (para leluhur). Selain Halimunan, Aki Èndi juga memiliki kemampuan guna untuk mengetahui hal-hal yang ghoib, seperti pada saat menjelang wafatnya.
Dari pernikahan yang dilakukan dengan wanita bernama Orang Sukabumi, bernama Siti Fatimah, Aki Èndi memiliki seorang anak perempuan, bernama Kokom Komariah. Penulis menyebutnya dengan panggilan Uwa Kokom.
Kemudian setelah bercerai dengan istri awal, Aki Èndi menikah dengan seorang perempuan bernama Èmi Suhaèmi, Orang Sukabumi, janda beranak satu bernama Èti, penulis memanggilnya dengan sebutan: Uwa Èti.
Mengenai Nènè tiri ke-dua ini, penulis dan para saudara segenerasi shof penulis memanggilnya dengan panggilan: Mamih Emin. Mamih Emin memiliki seorang ibu Orang Jampang Kulon, yaitu daèrah menuju ke Banten.
Sehubungan tiada memiliki anak dari hasil pernikahannya dengan Mamih Emin, Aki Èndi meminta izin menikah lagi, berpoligami. Mamih Emin mengizinkan. Maka Aki Èndi menikahi seorang perempuan, gadis, Orang Bandung, bernama: Tintin Sumarni bin Sukaatmadja.
Dari pernikahan ke-tiganya inilah Aki Èndi dikaruniai 3 orang anak: 2 anak perempuan, yaitu Nani Salbiah, dan Nina Yulia, serta seorang anak laki-laki bernama Dadang Agusni.
Nani Salbiah, penulisnya dengan sebutan: Wa Nènèng, mengeluarkan pada tahun 1956 Masèhi.
Nina Yulia, penulis panggilannya dengan sebutan: Mamah Nina, mengeluarkan pada tahun 1958 Masèhi.
Dadang Agusni, penulis panggilannya dengan sebutan: Mang Dadang, kebebasan pada tahun 1960 Masèhi.
Sekarang kita membahas sebuah "jika sejarah", yaitu:
1. Jika ada masalah dalam hubungan pernikahan yang ada antara Ibu dan penulis dengan Ayah Kandung Penulis, namun tidak memproduksinya dalam NA (Nikah Atas / Nikah Aqad) yang syah. Maksud Penulis, Ubah adik dari Wa Nènèng adalah laki-laki yang menjadi Ayah Kandung Penulis, namun Ibu Kandung Penulis hamilnya sebelum adanya Akad Nikah. Kata kunci adalah anak li`an yang dikandung sebelum memuaskan ikatan pernikahan (munakahat).
2. Dan misalnya penulis adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan, bukan laki-laki. Apakah disusuinya penulis olèh Uwa Penulis telah menyambungkan orang-orang yang terputus ke antara para penulis dengan Ayah Penulis (pemisalan sebelumnya, bahwa adiknya Uwa Nènèng yang menjadi orang tua penulis adalah Ayah Kandung Penulis, bukan Ibu Kandung Penulis), dan penulis dengan anak-anak kandung Wa Nènèng adalah muhrim patrilinèal, meskipun pada awalnya status Hukum Islam dalam mawaris, status kelahiran penulis adalah anak li`an ?.
Terhadap jawaban pemisalan 1 dan 2, beberapa penulis mengajukan jawaban: Ya.
Artinya, apa yang terjadi pada Nabi Muhammad tentang Ibu Susunya, Halimahtus Saudah, adalah solusi yang tepat untuk masalah-masalah gènèalogi yang konèksi-konèksi patrilinèalnya terputus secara teliti Hukum Munakahat dan Mawaris. Islam ternyata selalu memberikan solusi atas setiap masalah yang terjadi pada para pemeluk yang percayaininya.
Bukti Maha Adil Alloh. Dengan penyusuan yang dilajukan olèh salahsatu saudara kandung perempuan dari Ayah yang terputus sanad patrilinèalnya, maka akan bisa konèksi kemuhriman untuk seluruh tunas tunas.
Dan adanya legitimasi kemuhriman melalui ASI, akan menyebabkan terjalinnya keabsahan perwalian, pewarisan, serta hal-hal lain dalam dimènsi Fiqih.
Ternyata ada resèp pengobatan khusus yang Ibu Susuk siratkan dalam hal ini. Ini kasus yang jarang tersurat secara cerdas. Malah ada yang berantakan, hanya vonis dan vonis saja yang dibiasakan menerima olèh masyarakat, yang jarang mendapatkan solusi.
Nuhun, Uwaku, Ibu Susuku.
Bandingkan:
Materilinère dan Matrilinèal Dalam Masa Rèvolusi Indonèsia.
Lihat:
Saving account dari Hèry Hèrdianto.
Ua Nènèng, demikian panggilan akrabnya bagi penulis, sebagai anak dari adik bilateralnya. Bernama asli: Nani Salbiah. Namun olèh para keluarga dan kerabat segenerasinya akrab dipanggil dengan sebutan: Nanan. Apakah anak pertama secara bilateral dari Ibu Kandung penulis ?.
Dalam kapasitas tulisan ini, penulis ditempatkan sebagai suan (anak adiknya), dan sebagai saudara sepersusuan dari kedua orang anak yang sama-sama diberinya ASI (Air Susu Ibu): Hèry Herdianto dan Muhammad Syafaat, penulis terbatas pernah disusui olèh Wa Nènèng selama sekitar 1 tahun penuh, pada saat Ibu Kandung penulis sibuk bekerja sama dengan Bapa Budi Priyatna.
Selama ini penulis belum pernah mendapatkan informasi tentang apa yang saya cari dari Ibu Kandung penulis. Sanad yang diketahui dari generasi akar (leluhur) dari orang tua Ibu Kandung penulis, terhenti pada kakè penulis: Aki Èndi. Namun, keterangan dari Wa Nènèng ini memperkaya heuristik yang penulis lakukan.
Ayah dari Ibu Kandung dan Uwa Matrilinèal penulis, bernama (+ Aki) Mochammad Èndi bin Mantawijaya (Mantawidjaya, - èditasi Penulis) bin (+ Aki) Pura.
Aki Pura berasal dari Sukabumi, tepatnya di daèrah Kebon Jati. Para karuhun (leluhur-leluhur) di sana memiliki sanad dari Aki Pura. Uwa Nènèngamati hal ini berhubungan dengan diajak ke tempat olèh Aki Èndi. Seperti Mamah (Ibu Kandung Penulis) belum pernah. Uwa menambahkan keterangan bahwa di Kebon Jati itu telah membeli olèh Dèsy Ratnasari, seorang artis senior suara.
Peninggalan yang diberi Uwa Nènèng dari Ayah Kandungnya (Aki Èndi), adalah skil mengobati, dengan tèhnik pemijatan. Tèhnik pengobatan yang dipunyai olèh Wa Nènèng berbèda dengan apa yang ditemukan olèh Uwa Nènèng tersembunyi Aki Èndi. Uwa Nènèng kriteria bahwa Aki Èndi memiliki Ilmu Halimunan, praktek ilmu yang biasanya dimiliki olèh pala sepuh kapungkur (para leluhur). Selain Halimunan, Aki Èndi juga memiliki kemampuan guna untuk mengetahui hal-hal yang ghoib, seperti pada saat menjelang wafatnya.
Dari pernikahan yang dilakukan dengan wanita bernama Orang Sukabumi, bernama Siti Fatimah, Aki Èndi memiliki seorang anak perempuan, bernama Kokom Komariah. Penulis menyebutnya dengan panggilan Uwa Kokom.
Kemudian setelah bercerai dengan istri awal, Aki Èndi menikah dengan seorang perempuan bernama Èmi Suhaèmi, Orang Sukabumi, janda beranak satu bernama Èti, penulis memanggilnya dengan sebutan: Uwa Èti.
Mengenai Nènè tiri ke-dua ini, penulis dan para saudara segenerasi shof penulis memanggilnya dengan panggilan: Mamih Emin. Mamih Emin memiliki seorang ibu Orang Jampang Kulon, yaitu daèrah menuju ke Banten.
Sehubungan tiada memiliki anak dari hasil pernikahannya dengan Mamih Emin, Aki Èndi meminta izin menikah lagi, berpoligami. Mamih Emin mengizinkan. Maka Aki Èndi menikahi seorang perempuan, gadis, Orang Bandung, bernama: Tintin Sumarni bin Sukaatmadja.
Dari pernikahan ke-tiganya inilah Aki Èndi dikaruniai 3 orang anak: 2 anak perempuan, yaitu Nani Salbiah, dan Nina Yulia, serta seorang anak laki-laki bernama Dadang Agusni.
Nani Salbiah, penulisnya dengan sebutan: Wa Nènèng, mengeluarkan pada tahun 1956 Masèhi.
Nina Yulia, penulis panggilannya dengan sebutan: Mamah Nina, mengeluarkan pada tahun 1958 Masèhi.
Dadang Agusni, penulis panggilannya dengan sebutan: Mang Dadang, kebebasan pada tahun 1960 Masèhi.
Sekarang kita membahas sebuah "jika sejarah", yaitu:
1. Jika ada masalah dalam hubungan pernikahan yang ada antara Ibu dan penulis dengan Ayah Kandung Penulis, namun tidak memproduksinya dalam NA (Nikah Atas / Nikah Aqad) yang syah. Maksud Penulis, Ubah adik dari Wa Nènèng adalah laki-laki yang menjadi Ayah Kandung Penulis, namun Ibu Kandung Penulis hamilnya sebelum adanya Akad Nikah. Kata kunci adalah anak li`an yang dikandung sebelum memuaskan ikatan pernikahan (munakahat).
2. Dan misalnya penulis adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan, bukan laki-laki. Apakah disusuinya penulis olèh Uwa Penulis telah menyambungkan orang-orang yang terputus ke antara para penulis dengan Ayah Penulis (pemisalan sebelumnya, bahwa adiknya Uwa Nènèng yang menjadi orang tua penulis adalah Ayah Kandung Penulis, bukan Ibu Kandung Penulis), dan penulis dengan anak-anak kandung Wa Nènèng adalah muhrim patrilinèal, meskipun pada awalnya status Hukum Islam dalam mawaris, status kelahiran penulis adalah anak li`an ?.
Terhadap jawaban pemisalan 1 dan 2, beberapa penulis mengajukan jawaban: Ya.
Artinya, apa yang terjadi pada Nabi Muhammad tentang Ibu Susunya, Halimahtus Saudah, adalah solusi yang tepat untuk masalah-masalah gènèalogi yang konèksi-konèksi patrilinèalnya terputus secara teliti Hukum Munakahat dan Mawaris. Islam ternyata selalu memberikan solusi atas setiap masalah yang terjadi pada para pemeluk yang percayaininya.
Bukti Maha Adil Alloh. Dengan penyusuan yang dilajukan olèh salahsatu saudara kandung perempuan dari Ayah yang terputus sanad patrilinèalnya, maka akan bisa konèksi kemuhriman untuk seluruh tunas tunas.
Dan adanya legitimasi kemuhriman melalui ASI, akan menyebabkan terjalinnya keabsahan perwalian, pewarisan, serta hal-hal lain dalam dimènsi Fiqih.
Ternyata ada resèp pengobatan khusus yang Ibu Susuk siratkan dalam hal ini. Ini kasus yang jarang tersurat secara cerdas. Malah ada yang berantakan, hanya vonis dan vonis saja yang dibiasakan menerima olèh masyarakat, yang jarang mendapatkan solusi.
Nuhun, Uwaku, Ibu Susuku.
Bandingkan:
Materilinère dan Matrilinèal Dalam Masa Rèvolusi Indonèsia.
Lihat:
Saving account dari Hèry Hèrdianto.
`Ai Ratmah bin Ilyas: Mantan Anggota LASWI
21 September 2018, melanjutkan heuristik terhadap Bapa Budi Priyatna, setelah penulis memfoto lokasi Gang Salèh masa kini.
'Kamu ti Gang Salèh bieu tèh?,' tanya Bapa Budi.
'enya ieu foto gapura jalan utamana,' jawabku sambil memperlihatkan foto ini.
'tah ieu pan gigireun sakolaan ÈsÈmPè, kamu asup deui ka jero teu ?,' Bapa kepada Budi.
'tadi mah henteu tapi harita awal taun dua rèbu tujuh belas kungsi nyebarkeun brosur pengobatan Syèh Yusuf ka jerona aya 7 gang deui èta di jerona,' jelasku.
'hareupeun gang ieu tèh baheula aya barak paragi nampung korban Jepang nu disebut Jugun Infu,' Bapa Budi menerangkan sisi sejarah lokasi kampung halaman Ibu 'Ai Ratmah bin Mama Ilyas.
'wah naha Bapa bisa apal ?,' tanyaku.
'Kapanan Ibu Ai tèh lamun balik gawè di Jawatan Karèta Api sok ngaliwat ka barak èta milu ngarawat para awèwè korban Jepang baheula tèh,' uraian Bapa Budi.
'Ibu `Ai tèh pan mantan Laswi, sarua jeung Bu Tikno ninina Andri, Umu Salamah, jeung Bu Rukmini, kabèh baheulana anggota Laswi,' Bapa membuka jalan sejarah kontribusi Ibu `Ai.
'Mangsa rèk ngarungsi ka Jogja, èta para awèwè mantan Jugun Infu, disebarkeun di loba tempat samèmèh hijrah. Ditempat-tempatkeun ka Pajagalan, aya ogè nu ka Sukajadi, jeung Tegallega. Bu Ai termasuk Laswi nu ngarawat para korban Jepang tèh mangsa balik deui ka Bandung kungsi panggih deui jeung salasahiji Jugun Ianfu nu lolobana Orang Jawa. Naha nya beut loba Orang Jawa nu jadi korbanna?', uraian Bapa Budi.
'Nya meureun lamun Jepang migawè paksakeun pala panduduk di hiji lokasi satempat hèg katingali ku pala panduduk sèjèn di tempat èta tangtuna babari bijil pambarontakan sabab katènjo langsung laku lampahna ku nu solidèr', penulis penulis.
'bèda lamun nu jadi korban didatangkeun ti tempat nu jauh meureunan penduduk di lokasi barakna ogè teu pati kasinggung,' analisis penulis.
Lalu Bapa Budi melanjutkan: 'Taun 1960, aya kènèh saurang korban nu inget ka Bu Ai. Korban ieu inget yèn harita kungsi dirawat ku Bu `Ai basa maranèhna baheula ditempatkeun di barak, di depan Gang Salèh, dirawat ku para anggota Laswi. Tuluy ku Ibu Ai diajak ka imah di Jalan Nilèm, matak èta Bapa Budi nyaho'.
Besoknya, penulis kata kepada Bapa Budi: 'ari basa aya korban Jugun Ianfu nuBadan ku Bu `Ai ka Nilem tèh pan taun 1960, ari harita Bapa eukeur berumur sabaraha taun?'
'Salapan taunanlah,' jawab Bapa.
'wajar lamun kitu geus bisa inget kajadian-kajadian umur sakitu', simpulku.
Lalu aku berpikir: seandainya para Jugun Ianfu yang memiliki anak dari hasil pemantuan para serdadu Jepang semasa rèvolusi itu, dan kemudian merèka menikah secara normal dengan laki-laki dari kelompok penduduk setempat yang ingin menerimanya kemudian memiliki anak dari hasil pernikahan merèka, maka hubungan di antara anak pertama dengan anak selanjutnya adalah matèrilinèal dari matrilinèal.
Hal ini tiada lepas dari apakah proses produksi anak pertama dilakukan secara terpaksa maupun sukarèla, yang jelas matèri dengan maternal matrilinèal adalah berbèda. Matèri, ada unsur pembentuk sejarah keterpaksaannya. Adapun maternal, dalam matrilinèal tiada unsur keterpaksaan. Namun keduanya sama-sama bernasab matrilinèal.
'Kamu ti Gang Salèh bieu tèh?,' tanya Bapa Budi.
'enya ieu foto gapura jalan utamana,' jawabku sambil memperlihatkan foto ini.
'tah ieu pan gigireun sakolaan ÈsÈmPè, kamu asup deui ka jero teu ?,' Bapa kepada Budi.
'tadi mah henteu tapi harita awal taun dua rèbu tujuh belas kungsi nyebarkeun brosur pengobatan Syèh Yusuf ka jerona aya 7 gang deui èta di jerona,' jelasku.
'hareupeun gang ieu tèh baheula aya barak paragi nampung korban Jepang nu disebut Jugun Infu,' Bapa Budi menerangkan sisi sejarah lokasi kampung halaman Ibu 'Ai Ratmah bin Mama Ilyas.
'wah naha Bapa bisa apal ?,' tanyaku.
'Kapanan Ibu Ai tèh lamun balik gawè di Jawatan Karèta Api sok ngaliwat ka barak èta milu ngarawat para awèwè korban Jepang baheula tèh,' uraian Bapa Budi.
'Ibu `Ai tèh pan mantan Laswi, sarua jeung Bu Tikno ninina Andri, Umu Salamah, jeung Bu Rukmini, kabèh baheulana anggota Laswi,' Bapa membuka jalan sejarah kontribusi Ibu `Ai.
'Mangsa rèk ngarungsi ka Jogja, èta para awèwè mantan Jugun Infu, disebarkeun di loba tempat samèmèh hijrah. Ditempat-tempatkeun ka Pajagalan, aya ogè nu ka Sukajadi, jeung Tegallega. Bu Ai termasuk Laswi nu ngarawat para korban Jepang tèh mangsa balik deui ka Bandung kungsi panggih deui jeung salasahiji Jugun Ianfu nu lolobana Orang Jawa. Naha nya beut loba Orang Jawa nu jadi korbanna?', uraian Bapa Budi.
'Nya meureun lamun Jepang migawè paksakeun pala panduduk di hiji lokasi satempat hèg katingali ku pala panduduk sèjèn di tempat èta tangtuna babari bijil pambarontakan sabab katènjo langsung laku lampahna ku nu solidèr', penulis penulis.
'bèda lamun nu jadi korban didatangkeun ti tempat nu jauh meureunan penduduk di lokasi barakna ogè teu pati kasinggung,' analisis penulis.
Lalu Bapa Budi melanjutkan: 'Taun 1960, aya kènèh saurang korban nu inget ka Bu Ai. Korban ieu inget yèn harita kungsi dirawat ku Bu `Ai basa maranèhna baheula ditempatkeun di barak, di depan Gang Salèh, dirawat ku para anggota Laswi. Tuluy ku Ibu Ai diajak ka imah di Jalan Nilèm, matak èta Bapa Budi nyaho'.
Besoknya, penulis kata kepada Bapa Budi: 'ari basa aya korban Jugun Ianfu nuBadan ku Bu `Ai ka Nilem tèh pan taun 1960, ari harita Bapa eukeur berumur sabaraha taun?'
'Salapan taunanlah,' jawab Bapa.
'wajar lamun kitu geus bisa inget kajadian-kajadian umur sakitu', simpulku.
Lalu aku berpikir: seandainya para Jugun Ianfu yang memiliki anak dari hasil pemantuan para serdadu Jepang semasa rèvolusi itu, dan kemudian merèka menikah secara normal dengan laki-laki dari kelompok penduduk setempat yang ingin menerimanya kemudian memiliki anak dari hasil pernikahan merèka, maka hubungan di antara anak pertama dengan anak selanjutnya adalah matèrilinèal dari matrilinèal.
Hal ini tiada lepas dari apakah proses produksi anak pertama dilakukan secara terpaksa maupun sukarèla, yang jelas matèri dengan maternal matrilinèal adalah berbèda. Matèri, ada unsur pembentuk sejarah keterpaksaannya. Adapun maternal, dalam matrilinèal tiada unsur keterpaksaan. Namun keduanya sama-sama bernasab matrilinèal.
Wednesday, September 12, 2018
Diana Januati Priyatna: Anak Pertama Budi Priyatna
Anak Pertama dari Bapa Budi Priyatna dengan Mamah Nina. Dilahirkan pada tanggal 18 Januari 1983. Sejak kecil telah dekat dan disayangi olèh Mini (Tini Surtiningsih), Kaka Perempuan Ke-2 Budi Priyatna, Anak Perempuan Ke-2 Soemantri Dendadimadja. Terlihat di dalam foto ini, Diana kecil melihat ke arah Telaga, pada saat keluarganya menatap kamèra. Bapa Budi Priyatna mengenakan baju berwarna kuning, Mini (Tini Surtiningsih) mengenakan pakaian bermotif kotak-kotak warna hijau, Mang Gatot Soemantri mengenakan kaos berwarna hijau yang mana postur tubuhnya paling tinggi di antara semua yang ada di dalam foto, Atih mengenakan pakaian berwarna putih-putih, Ibu Ai Ratmah mengenakan kebaya di sebelah Mang Gatot, dan di depan Ibu Ai adalah Bi Nunung (Bi Enung), istri Mang Gatot. Penulis berjakèt mèrah berdiri di depan Mang Gatot.
Masa kecil Diana dilaluinya di 3 tempat di Kota Bandung.
Pertama, sejak dilahirkan hingga berusia sekitar 2 taun, berdomisili di Taman Sari, Kota Bandung, bersama Bapa Budi Priyatna, Mamah Nina Yulia, penulis, dan kemudian Irma Apriani Priyatna.
Ke-dua, kemudian pindah, bersama Bapa Budi Priyatna, ke Jalan Nilem II nomer 7, Kota Bandung, ke rumah kediaman Aki Soemantri Dendadimadja, Ibu Ai Ratmah bin Mama Ilyas, beserta Bapa Budi Priyatna, dan beberapa anak-anak Aki Soemantri yang pada saat itu masih pada lajang, di antaranya: Mang Dedy, Mang Yuyu, serta Mini (Tini Surtiningsih). Kepindahan Diana dan Bapa Budi Priyatna ini sehubungan peristiwa perceraian pernikahan antara Bapa Budi Priyatna dengan Mamah Nina Yulia. Di tempat ini, Diana dan penulis diberikan pengajaran mengaji olèh Mini dan Bapa Budi, tanpa secara langsung, yang mana kami dikursuskan kepada Ibu Ining atas biaya dari Mini. Bu Ining adalah seorang Guru Ngaji di Nilem, dan bersama-sama pula dengan murid lainnya, bernama Ichsan Nugraha, sahabat penulis. Kami bertiga rutin belajar ngaji di rumah Bu Ining selepas aktivitas sekolah reguler.
Ke-tiga, beberapa tahun Diana berdomisili di Jalan Nilem, serta bersekolah di sana (Taman Kanak Kanak Delima dan Sekolah Dasar Negeri Nilem IV), kemudian pindah ke Jalan Parakan II A (sekarang Jalan Parakan Wangi), Kota Bandung, sehubungan terjadi musibah kebakaran atas bangunan rumah kediaman Aki Somantri Dendadimadja. Saat itu, Ibu Ai Ratmah telah meninggal, dan Aki beserta Bapa Budi Priyatna hijrah mengungsi ke rumah kediaman Atih (Tien Hertina) di Parakan. Penulis yang pada saat itu juga lagi berada di dalam pengasuhan dan pengasihan keluarga Aki Somantri, dibawa turut hijrah ke tempat Atih, yang pada saat itu hidup bersama 3 orang anaknya dari Papah (Komara Achmad Hidayat): A Novi Ganjar Nugraha (A Ganjar), Tèh Lita Ningrum Yatmikasari (Tèh Nènèng ataupun Tèh Lita) serta Tèh Sylvia Lukitasari (Tèh Ichi), beserta Bi Titing yang membantu pekerjaan-pekerjaan Atih di rumah sehubungan pada saat itu Atih mempunyai beberapa aktivitas bisnis keputrian, seperti: senam dan rias. Dan Irma Apriani Priyatna, Adik Kandung Bilateral Diana Januati Priyatna, telah hadir terlebih dahulu dan diasuh olèh Atih di rumah ini, sebelum penulis dan Diana ikut tinggal di sana. Di tempat kediaman Atih ini, kami bertiga (Diana, Irma, dan penulis) diberikan pengajaran ngaji olèh Mini dan Atih melalui kursus kepada Ustadz Faqih, seorang Guru Ngaji yang kediamannya dekat dengan kediaman Atih. Adapun Atih dan Mini sama-sama membiayai pendidikan kami bertiga.
Memasuki usia Sekolah Menengah Pertama, Diana pindah dari kediaman Atih di Parakan, dan ikut bersama Mini (Tini Surtiningsih) ke kediamannya di Jalan Pasigaran, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupatèn Bandung. Hal ini disebabkan pada saat itu Atih beserta anak-anaknya hijrah ke Kota Bekasi, dan Mini mèmang tiada mempunyai anak, sehingga leluasa guna mengasuh dan mengarahkan pendidikan dari beberapa orang suannya, termasuk Diana dan penulis (kami dimajajikannya sebagai anak).
Adapun Bapa Budi yang pada saat itu belum berkehendak menikah lagi setelah perceraiannya dengan Mamah Nina, pindah kembali bersama Aki Soemantri ke rumah lamanya di Jalan Nilem yang telah dipugar kembali. Jadi, seperti juga penulis, Diana tiada ikut dengan para orang tua kandungnya, baik Ibu Kandungnya (Nina Yulia), maupun Ayah Kandungnya (Bapa Budi Priyatna). Sedangkan Irma, ikut dengan Atih, hijrah mendekati Ibukota.
Diana melanjutkan bersekolah di SMP Negeri 34 Bandung, di Jalan Waas (dekat Parakan, kini menjadi pintu masuk ke Perumahan Batu Nunggal) yang mana setiap hari-hari belajarnya harus berangkat pulang-pergi menempuh jarak yang cukup jauh, dari Dayeuhkolot ke Bandung (meskipun secara lokasi Dayeuhkolot adalah kecamatan yang termasuk Kabupatèn Bandung, namun pada umumnya orang-orang mèmbèdakannya dengan Kota Bandung). Biaya pendidikannya ditanggung olèh Mini (Tini Surtiningsih) dan Bapa Budi Priyatna.
Selepas SMP, Diana melanjutkan pendidikan formalnya di SMA 21 Bandung, daèrah Ciwastra, Jalan Rancasawo. Sama seperti masa SMPnya, setiap hari-hari belajanya ditempuh dengan perjalanan bolak-balik yang cukup jauh dari Dayeuhkolot ke Ciwastra menggunakan Angkutan Kota (Angkot).
Dalam usia SMAnya ini, Diana pernah mengalami kecelakaan, jatuh pada saat belajar mengendarai sepeda motor. Terjadi kerusakan struktur pada tulang rahang bawahnya sehingga memerlukan perawatan dari layanan Rumah Sakit secara intensif.
Uniknya, saat ini Diana bekerja di perusahaan pembiayaan (kendaraan bermotor), setelah sebelumnya pernah mempunyai pengalaman bekerja di perusahaan penyedia layanan perparkiran, dengan keahlian yang sejalan dengan pendidikan Diplomanya dalam bidang Manajemen Informatika, yang ditempuhnya di Politeknik Piksi Ganesha, Bandung pada Program Diploma III. Tuntas ditempuh dengan menyusun Tugas Akhir bertèmakan Sistem Absènsi Karyawan.
Sejauh yang penulis ketahui, Diana sempat mempunyai kedekatan hubungan dengan beberapa teman laki-lakinya pada waktu yang berbèda-bèda. Dengan Eri, pada saat merèka menjalani studi Diplomanya, sering belajar dan menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Dengan Arlin, yabg merupakan teman sepekerjaannya, pada saat Diana pertama kali bekerja setelah lulus kuliahnya, yaitu bertugas kerja absèn di PT. SUN PARKING, Kota Bandung. Lalu setelah pindah bekerja di Jakarta, Diana akrab dengan Steven (Steven Victor Imanuel), dan dengan laki-laki inilah kemudian Diana menjalani rumah tangga.
Pada saat akan menikah dengan Steven, Diana dan Steven mengalami kesulitan secara administrasi dalam negeri sehubungan merèka berdua tercatat berbèda Agama, Diana sejak kecil beragama Islam, sedangkan Steven beragama Protèstan. Salahsatu di antaranya harus ikut kepada agama yang dianut olèh pasangannya. Hasil rembukan merèka, Diana yang akan ikut kepada Agana Protèstan yang lagi dianut olèh Stèven. Dalam kara ini penulis sempat protès, dan komunikasi di antara penulis dengan Diana sempat menjadi kurang akrab. Diana dan Steven menikah. Namun setelah belajar memahami hakèkat ketuhanan melalui praktèk dzikir, penulis memahami yang dimaksud dengan Irodat Alloh, suatu taqdir. Maka akhirnya fanatismeu penulis ditariknya ke dalam diri, bukan formalitas di permukaan syariat saja. Kamipun akrab kembali, dan saling menyayangi serta menghargai.
Saat ini Diana berdomisili di Jakarta. Tinggal bersama Steven dan Fabrizio Rafaèl (keponakan penulis), serta Mamah Nina Yulia (Ibu Kandung penulis dan Diana). Merèka berdua (Diana dan Steven), sama-sama bekerja di perusahaan yang bergerak dalam bidang pembiayaan pembelian kendaraan bermotor ('lising'). Diana bekerja absèn di PT. ANDALAN FINANCE, sedangkan Steven bekerja sebagai lègal officer di 'lising' lainnya.
PILIHAN SELANJUTNYA:
1. Kembali ke Bapa Budi Priyatna.
___
Suntingan-1: 19/09/2018: menautkan LINK: Ichsan Nugraha, sebagai instrumèn.
Sunday, September 9, 2018
Mamih Cucu : Istri Pertama Aki Soemantri Dendadimadja
Pernikahan Aki Soemantri dengan Mamih Cucu merupakan pernikahan Aki yang pertamakalinya. Dari pernikahan ini, Aki dan Mamih Cucu mempunyai beberapa orang anak, dan kini telah mempunyai beberapa orang cucu serta buyut.
Dari pernikahan ini, Aki Soemantri dikaruniai 4 orang anak, yang penulis sempat ketahui secara langsung keberadaannya (off_line), juga sempat berkomunikasi dengan keempatnya, yaitu: Uwa Tati, Atih (Tien Hèrtina), Tini Surtiningsih, dan Uwa Èma (keempatnya pada foto pada postingan ini). Dengan demikian, hubungan genetikal family antara Uwa Tati, Atih, Tini Surtiningsih, dan Uwa Èma, adalah: Persaudaraan Bilateral.
Selain 4 orang anak perempuan termaktub, dari Mamih Cucu, Aki Soemantri juga sempat mempunyai satu orang anak laki-laki, bernama Barnas, yang meninggal pada saat putranya itu masih berusia anak-anak (belum baligh). Serta sempat mempunyai satu orang lagi anak perempuan, yang bernama Tika. Namun, sama seperti Uwa Barnas, Uwa Tika meninggal pada saat berusia masih anak-anak. Penyebab meninggalnya kedua anak Aki dari Mamih Cucu ini adalah disebabkan sakit. Pada saat itu, aksès pengobatan belum mempunyai jangkauan yang mudah, dan demikian pula aksès pengetahuan bagi para orang tua pada masa lalu belum seluas aksès pengetahuan bagi para orang tua pada saat kini.
Adapun data mengenai 2 orang anak Aki Soemantri dari Mamih Cucu yang telah meninggal tadi, adalah berada di luar èksistènsi penulis secara off_line, dalam arti bahwa penulis mengetahuinya melalui keterangan yang tiada langsung, melainkan melalui keterangan-keterangan yang penulis dapatkan dari luar 2 orang termaksud. Penulis, dengan demikian adalah sebagai indirèct witnes, sebagaimana keberadaan (èksistènsi) dari Mamih Cucu, yang mana ketika penulis bertemu dengan Aki Soemantri pertamakalinya, Mamih Cucu juga telah wafat.
Di antara beberapa indirect witnesess yang penulis ketahui dan bisa mendapatkan keterangan guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam penyusunan rintisan Tulisan Biografi ini adalah Tini Surtiningsih.
Pilihan:
1. Kembali ke Halaman.
2. Lihat Tini Surtiningsih.
3. Lihat konsèp Persaudaraan Bilateral.
Dari pernikahan ini, Aki Soemantri dikaruniai 4 orang anak, yang penulis sempat ketahui secara langsung keberadaannya (off_line), juga sempat berkomunikasi dengan keempatnya, yaitu: Uwa Tati, Atih (Tien Hèrtina), Tini Surtiningsih, dan Uwa Èma (keempatnya pada foto pada postingan ini). Dengan demikian, hubungan genetikal family antara Uwa Tati, Atih, Tini Surtiningsih, dan Uwa Èma, adalah: Persaudaraan Bilateral.
Selain 4 orang anak perempuan termaktub, dari Mamih Cucu, Aki Soemantri juga sempat mempunyai satu orang anak laki-laki, bernama Barnas, yang meninggal pada saat putranya itu masih berusia anak-anak (belum baligh). Serta sempat mempunyai satu orang lagi anak perempuan, yang bernama Tika. Namun, sama seperti Uwa Barnas, Uwa Tika meninggal pada saat berusia masih anak-anak. Penyebab meninggalnya kedua anak Aki dari Mamih Cucu ini adalah disebabkan sakit. Pada saat itu, aksès pengobatan belum mempunyai jangkauan yang mudah, dan demikian pula aksès pengetahuan bagi para orang tua pada masa lalu belum seluas aksès pengetahuan bagi para orang tua pada saat kini.
Adapun data mengenai 2 orang anak Aki Soemantri dari Mamih Cucu yang telah meninggal tadi, adalah berada di luar èksistènsi penulis secara off_line, dalam arti bahwa penulis mengetahuinya melalui keterangan yang tiada langsung, melainkan melalui keterangan-keterangan yang penulis dapatkan dari luar 2 orang termaksud. Penulis, dengan demikian adalah sebagai indirèct witnes, sebagaimana keberadaan (èksistènsi) dari Mamih Cucu, yang mana ketika penulis bertemu dengan Aki Soemantri pertamakalinya, Mamih Cucu juga telah wafat.
Di antara beberapa indirect witnesess yang penulis ketahui dan bisa mendapatkan keterangan guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam penyusunan rintisan Tulisan Biografi ini adalah Tini Surtiningsih.
Pilihan:
1. Kembali ke Halaman.
2. Lihat Tini Surtiningsih.
3. Lihat konsèp Persaudaraan Bilateral.
Tini Surtiningsih : The Second Daughter of Soemantri Dendadimadja
Adalah nama seorang Kaka Perempuan dari Budi Priyatna. Tini Surtiningsih ialah anak ke-dua dari Aki Soemantri Dendadimadja dari pasangan Mamih Cucu. Lahir di Palèmbang, pada saat Aki masih sering bertugas ke luar daèrah Bandung.
Kedekatan hubungan di antara penulis dengan Mini, demikian beberapa orang suan terdahulu memanggil Tini Surtiningsih sebagai Uwa merèka, yang kemudian diikuti pula panggilan ini olèh penulis serta para suannya dari Bapa Budi, dimulai sejak pernikahan antara Bapa Budi dengan Ibu Kandung penulis, Nina Yulia, yang dalam Akteu Kelahiran penulis berangka tahun 1980 diketik bertulisan: 'Yulia'.
Pada saat Bapa Budi berumah tangga dengan Mamah Nina, Mini belum menikah. Gejala menikahnya seorang adik mendahului kakanya, dalam kosakata Bahasa Sunda disebut sebagai: 'ngarunghal'. Penulis berpikir, mungkin istilah ini terdiri atas 2 kata dasar, yaitu: 'ngarung', yang memiliki makna: 'meninggalkan', serta kata: 'hal'. Sehinggga, 'ngarunghal' secara keseluruhan mempunyai makna: 'menyusul hal' ataupun 'mendahului hal'.
Namun hal dilarung (ditinggalkan) ini tiada menjadi suatu kendala yang berdampak besar terhadap psikologis Mini. Bahkan Mini menyambut baik kehadiran penulis yang mana setelah pernikahan antara Bapa Budi dengan Mamah Nina, penulis mempunyai status sebagai anak tiri dari Bapa Budi, yang dengan demikian berarti penulis adalah suan tiri dari saudara tiri patrilinèal Mini.
Mini bersikap sangat baik, bahkan di kemudian hari, penulis dan adik-adik matrilinèal penulis, cenderung dianggap dan diperlakukan sepertimana anak kandungnya. Sikap dan perlakuan sepertimana ini adalah suatu majas, yang mana majas adalah gaya bahasa guna mengumpamakan suatu gejala kenyataan dalam bentuk bahasa.
Di kemudian hari (tahun 2017), dari Ustadz Misbah Aripin, seorang teman penulis, didapatkan pengetahuan bahwa seseorang yang disepertikan sebagai suatu peranan sosial dapat menggunakan kata: 'majaji', guna mendèskripsikan keterkaitan hubungan sosialnya (social relation) dengan suatu sistem kekerabatan (genetical family).
Dengan demikian, gejala diperlakukannya satu ataupun beberapa orang anak sebagai kerabat dari seseorang, yang secara genetical family tiada mempunyai keterkaitan, ataupun sempat mempunyai keterkaitan namun kemudian status dari tautan termaksud telah usai, sementara kondisi psikologis dalam keseharian masih berlangsung sebagaimana status genetical family (dianggap sebagai keluarga sedarah, bukan olèh sebab status hukum: akibat pernikahan), maka terhadap kara inilah dapat diterapkan istilah: 'majaji', ataupun 'diibaratkan'.
yundayustria@gmail.com
Misalnya, status Bapa Budi adalah Bapa Majaji penulis. Artinya, di satu pihak: Bapa Budi menganggap anak kepada penulis, dan di pihak lain, penulis menganggap Ayah kepada Bapa Budi, yang mana di antara kami tiada hubungan kekeluargaan (genetical family), juga tiada hubungan secara hukum negara (misalnya: status diangkat secara hukum, ataupun yang disebut sebagai: 'adopsi').
Gejala inilah yang terjadi di antara Mini dengan penulis, pada saat Bapa Budi menikahi Ibu Kandung penulis, Mini telah mengindikasikan hal ini, yang mana kemajajian di antara kami terus berlangsung hingga pada saat tulisan ini disusun.
Mengapa hal kemajajian ini menurut penulis adalah suatu hal yang penting dalam suatu upaya pengulasan tulisan yang menjadi bagian dari karya Biografi?.
Sebab dengan memahami kemajajian sebagai suatu konsèp yang dapat didaftarkan ke dalam ranah kajian Sosiologi, hal ini akan dapat mempunyai banyak fungsi guna menjelaskan fènomèna yang dapat dipahami olèh pihak-pihak lain yang dinisbahkan terhadap suatu gejala hubungan yang terjadi dan berlangsung di antara 2 ataupun lebih tokoh yang lagi dibahas.
Ini sangat dapat diterapkan terhadap fènomèna-fènomèna kasus yang sejenis, sepola, ataupun semakna, dengan hal kemajajian tadi.
Dengan demikian, Biografi Tèmatis, yang bukan hanya menekankan fokus tulisannya berdasarkan alur kronologisasi sejarah, namun melibatkan pemikiran kritis terhadap beberapa kara yang akan dikaji statusnya menjadi hal, adalah suatu alternatif bagi penyusunan tulisan-tulisan bertema umum.
Dan terhadap hal keterpaduan seperti ini, penulis pikir hal ini dapat menjadi suatu bahasan bagi generasi selanjutnya, terutama anak-anak yang belum baligh, yang mana merèka memerlukan suatu pembekalan konsèp-konsèp faktual guna membentuk pemahaman-pemahaman interkonèksi dalam suatu keterpaduan, serta kemudian menyusun simpulan-simpulan berdasarkan asumsi-asumsi serta data-data yang telah diterima sebelumnya.
___
Suntingan-1: 12/09/2018: pada kata: 'adalah' dièdit menjadi: 'ialah', dan menambahkan foto.
Suntingan-2: 29/01/2019: menambahkan Fail - Fail Vidio dalam Format Boks Gésér Samping, dan Terjemahan "English" dalam Téksaréa, serta Bahasa Arab salam format "marquee"
ala Kang Sakri ['Sakray', bisa dicék di postingan dalam blogspot ybs.: https://carasakrayblog.blogspot.com/2018/12/cara-membuat-marquee-gambar-berjalan-di.html?m=1 ] ☺🙏.
Pilihan:
1. Kembali ke Halaman.
2. Lihat sèmpel Keterpaduan Tèmatis yang diajukan penulis: Membentuk Pemahaman Hukum Bagi Anak.
Novi Ganjar Nugraha : The Second Grand Son of Soemantri Dendadimadja
Hal tèhnik yang merupakan bidang keahlian Aki Soemantri Dendadimadja selama hidupnya, secara gènètikal yang diperhatikan olèh penulis, banyak menurun pula kepada cucu ke-duanya: Novi Ganjar Nugraha, yang biasa penulis panggil dengan panggilan: 'A Ganjar' ataupun 'Pa Ganjar', selain menurun langsung kepada Mang Yuyu.
A Ganjar mempunyai bakat dan keahlian di bidang tèhnik, meskipun bukan dalam hal tèhnik yang sama dengan Aki Soemantri ataupun Mang Yuyu. Apabila Aki menggeluti tèhnik peniupan gelas yang dipelajarinya di Belanda, dan Mang Yuyu menggeluti tèhnik konstruksi pekerjaan-pekerjaan sipil, maka A Ganjar menggeluti
tèhnik Informatika.
CV.Prosys Cipta Informasindo, merupakan nama perusahaan yang dirintis olèh A Ganjar beserta (+Wa Papah)Hidayat di Jakarta, salahsatu pergerakan aktifnya di bidang pemasaran hasil Tèhnik Informatika yang diproduksi olèh Pa Ganjar. Penulis mendapatkan peluang pula guna merintis pengembangan CV.ini di Kota Bandung, bergerak dari Bandung_1 hingga èkspansi ke luar daèrah Bandung, selain Jakarta. Adapun selama penulis memasarkan Pos_Stok produk jadi dan turut mengembangkan èkspansi CV.Prosys termaktub, A Ganjar memberikan pilihan status bèbas kepada penulis: tiada mempunyai ikatan-ikatan kewajiban tertentu selain akad-akad dari setiap program aplikasi dari aytem-aytem jenis software yang diproduksinya, yang mana dalam status inilah penulis memanggil A Ganjar dengan sebutan: 'Pa Ganjar', dalam suatu bentuk hubungan profèsionalismeu bermuamalah, sejak tahun 2004 hingga sekitar tahun 2008. Software modifikasi yang dirancang olèh Pa Ganjar, mempunyai banyak keunggulan, yang mana satu di antaranya adalah sebagaimana yang penulis kaji dalam fungsi khusus pengontrolan stok, atau Inventory Control System.
___
Suntingan-1: 12/09/2018: menambahkan data mengenai Novi Ganjar Nugraha, sebagai berikut:
Pa Ganjar dalam kapasitasnya sebagai pembuat program, adalah alumni PT. KAHAR DUTA SARANA, perusahaan yang bergerak di bidang Cash Register, yang awalnya guna penyediaan mèdia mesin pembayaran di institusi dalam melayani para kastamer, yang mana Pa Ganjar pernah bekerja sebagai programer di perusahaan tersebut.
Setelah berhenti dari perusahaan tersebut, Pa Ganjar dan tim sesama programer sempat membuat program Point of Sale, namun kemudian berpisah kongsi dan menjalani bisnis masing-masing secara mandiri. Kemudian Pa Ganjar mendirikan satu Badan Usaha berbentuk Badan Hukum CV Prosys Cipta Informasindo, sebagai sekutu aktif, bersama dengan Haji Komara Achmad Hidayat (sekutu pasifnya).
Dalam pengelolaannya, Pa Ganjar dibantu olèh beberapa orang, di antaranya: Pa Hamid, Popong, dan Pa Nurdin. Semuanya berkedudukan di Jakarta.
Ketika pada tahun 2005 penulis berkunjung ke tempat domisilinya di Jakarta Timur, Pa Ganjar mengajak penulis ke kantornya, guna mempelajari pemasaran program yang diproduksinya. Kemudian, Pa Nurdinlah yang mengajari penulis mengenali mèdan: Jakarta, Kota Bogor, dan Dèpok. Beberapa hari kami bersama di lapangan pemasaran arèa-arèa tersebut. Setelah itu, ketika penulis hendak kembali ke Bandung, Pa Ganjar menawari penulis guna bekerjasama dengan perusahaannya yang telah berdiri di Jakarta, dengan arèa yang dapat penulis garap adalah Kota Bandung dan sekitarnya.
Penulis sempat kurang percaya diri guna memasarkan suatu barang yang mana penulis belum begitu menguasainya, apalagi arèa yang akan digarap adalah arèa yang berjauhan dari tempat kedudukan Pa Ganjar sebagai programer pembuat Software Prosys. Penulis merasa khawatir apabila sewaktu-waktu terjadi trabel kendala tèknis, baik dalam kara hardware ataupun softwarenya penulis belum dapat menanganinya sendirian.
Selanjutnya Pa Ganjar meyakinkan penulis bahwa apabila yang dikhawatirkan adalah dalam hal sofwèr maka hal tersebut dapat ditangani secara mandiri apabila ada komunikasi dengannya pada saat mengoperasikan sofwèrnya dan menemukan trabel, meskipun hal tersebut adalah komunikasi dalam jarak jauh tanpa berjumpa secara fisik, cukup melalui telepon maka nanti Pa Ganjar akan memandu langkah-langkah tèknis yang perlu penulis lakukan guna menangani kalau ada suatu kendala yang timbul pada saat mengoperasikan software buatannya.
Kemudian Pa Ganjar mengajari penulis beberapa hal penting yang perlu diketahui berkaitan dengan penanganan software buatannya apabila sewaktu saat penulis mengalami kendala dengan kastamer yang membeli dari penulis. Satu di antara beberapa pengetahuan yang ditransfer langsung kepada penulis adalah mengenai tèhnik "rename" pada suatu folder, ataupun 'mengubah penamaan suatu folder' menggunakan perintah-perintah Sistem DOS ("Disck Operating System). Adapun pada saat tulisan ini disusun, penulis bukan menggunakan Operating System yang terdahulu itu, namun menggunakan fasilitas yang disediakan di dalam blogger dot com guna membangun suatu blogspot sebagaimana yang kini lagi penulis gunakan dalam menyusun sèmpel biografi ini.
Jadi, pada prinsipnya Pa Ganjar menyiapkan penulis sebagai mitra usaha dalam posisi penulis adalah pembeli produknya, bukan sebagai karyawan internal di perusahaannya. Artinya pula, segala rèsiko di luar spèsifikasi produk buatannya yang dibeli olèh kastemer penulis menjadi tanggung jawab penulis, baik penawaran, pengadaan, suport mèintenèns, beserta rèsiko-rèsiko keuntungan maupun rèsiko kerugiannya.
DETEKSI HUBUNGAN-HUBUNGAN GÈNÈALOGI
A Ganjar, adalah nama panggilan informal yang dilakukan olèh seluruh cucu Aki Soemantri Dendadimadja, kecuali A Ugun, yang merupakan Kaka Sepupu A Ganjar, bahkan A Ganjarlah yang memanggil A Ugun dengan sebutan: 'A' di depan nama: 'Ugun'. Menurut Pa Budi Priyatna:
"Ngaran aslina Gungun Guna Prawira, disebutna Si Raja Ciu, pamajikanna dilandik Si Euis Tukang Ngabohong. Mun teu ningali Bah Yoyo, nyaèta Ninina A Ugun ti Bapana, Tarmedi, nyaèta Akina, meureun geus dibabukan ku warga. HaPe ditincak bari ngaliwat," penjelasan Bapa Budi Priyatna kepada penulis, beberapa hari setelah wawancara pertama guna keperluan pembuatan blogspot mengenai Biografi Keluarga ini.
Tapi seingat penulis, A Ugun juga sering menyebut A Ganjar dengan panggilan: A Ganjar, sebagaimana para adiknya serta adik sepupu keduanya memanggil A Ganjar. Begitulah orang-orang Sunda dalam beradab kepada sesama manusia lain, saling menghargai.
A Ganjar adalah anak pertama Atih, yaitu Tien Hertina, Atih ialah anak ke-2 Aki dengan Mamih Cucu. Adapun A Ugun adalah anak pertama Uwa Tati, dan Uwa Tati ialah anak ke-1 Aki dengan Mamih Cucu. Dengan demikian, antara A Ugun dengan A Ganjar terdapat hubungan sepupu bilateral (satu Kake dan Nènè yang sama), dari jalur "ordering" matrilinèal ("ordering" = berurutan, yang mana Ibu dari keduanya adalah Kaka Beradik Bilateral langsung, tanpa terselangi.
TRADISI LISAN
Menurut Bi Titing yang disampaikan secara langsung kepada penulis pada sekitaran tahun 1991 - 1993, seingat penulis, A Ganjar mempunyai beberapa julukan di kalangan teman-teman dekatnya. Beberapa orang sahabatnya memanggil A Ganjar dengan sebutan: 'Oping', dan sebagian lagi menyebutnya: 'Jaka'. Kegemarannya membaca dan mengkolèksi buku-buku karya Ko Ping Ho, mengenai cerita Kung Fu, mungkin membuat A Ganjar mendapat julukan 'Oping'. Dan julukan 'Jaka' dimugkinkan didapatkannya dari nasab buku-buku cerita silat kolosal lainnya yang dari domain lokal.
Menurut Bi Titing pula, dalam rangka mendidik penulis, disampaikan kepada penulis bahwa A Ganjar pernah disakiti hatinya olèh seorang perempuan yang pada saat itu menjadi kekasih A Ganjar, namun perempuan itu menikahnya dengan orang lain, seorang penari.
Satu hal yang membuat Bi Titing kagum dan menghormati A Ganjar adalah sehubungan sikap A Ganjar yang 'jembar manah gedè panghampura', memberikan maafnya serta bersedia menerima kembali lalu menikahi perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu setelah pernah meninggalkan A Ganjar, lalu merèka menikah dan seorang anak dipunyai olèh kekasih Aa.
Bi Titing adalah 'indung beurang' bagi penulis, sesuai dengan yang dinyatakan olèh Mamah Atih, bahwa kami (2 orang Anak Kandung Bapa Budi Priyatna, dan penulis) yang pada saat itu lagi berada jauh berbèda tempat domisili dengan Ibu Kandung kami (Nina Yulia) sehubungan telah terjadi perceraian antara Bapa Budi Priyatna dengan Mamah Nina, agar menurut dan mau diasuh olèh Bi Titing, kalau pada saat Mamah Atih lagi sibuk beraktivitas. Tentu penulis dan kedua adik penulis yang pada saat itu masih berusia belum akil baligh, merasa senang saja, sehubungan kami mempunyai banyak Ibu Pengganti pada saat kami terpisahkan dari Ibu Kandung kami.
Sebelum generasi penulis dan kedua orang adik penulis turut diasuh olèh Bi Titing, beliau telah terlebih dahulu membantu Mamah Atih di rumah dalam mengurus tiga orang putra - putrinya pada saat merèka kecil dan remaja, yaitu: A Ganjar, Tèh Lita, dan Tèh Ichi. Dengan kapasitas sebagai pelaku dan saksi sejarah, maka penulis memberikan kadar kepercayaan yang cukup mamadai guna mengklasifikasikan keterangan dari Bi Titing sebagai suatu data yang dapat diyakini kebenarannya dalam suatu mètodologi sejarah yang sangat berguna dalam berbagai maksud dan tujuan dari suatu historiografi, termasuk jenis biografi.
PILIHAN SELANJUTNYA:
1. Kembali ke Halaman Aki Soemantri Dendadimadja.
2. Lihat sèmpel Pengajuan Contoh Kegunaan ICS Produksi PROSYS yang menginspirasi penulis: Kontrol Stok.
3. Lihat Progrès penulis dalam mengaplikasikan pengetahuan dasar dari Pa Ganjar mengenai "rename" tersebut dalam suatu postingan blogspot: Rename Technique dalam Blogspot.
A Ganjar mempunyai bakat dan keahlian di bidang tèhnik, meskipun bukan dalam hal tèhnik yang sama dengan Aki Soemantri ataupun Mang Yuyu. Apabila Aki menggeluti tèhnik peniupan gelas yang dipelajarinya di Belanda, dan Mang Yuyu menggeluti tèhnik konstruksi pekerjaan-pekerjaan sipil, maka A Ganjar menggeluti
tèhnik Informatika.
CV.Prosys Cipta Informasindo, merupakan nama perusahaan yang dirintis olèh A Ganjar beserta (+Wa Papah)Hidayat di Jakarta, salahsatu pergerakan aktifnya di bidang pemasaran hasil Tèhnik Informatika yang diproduksi olèh Pa Ganjar. Penulis mendapatkan peluang pula guna merintis pengembangan CV.ini di Kota Bandung, bergerak dari Bandung_1 hingga èkspansi ke luar daèrah Bandung, selain Jakarta. Adapun selama penulis memasarkan Pos_Stok produk jadi dan turut mengembangkan èkspansi CV.Prosys termaktub, A Ganjar memberikan pilihan status bèbas kepada penulis: tiada mempunyai ikatan-ikatan kewajiban tertentu selain akad-akad dari setiap program aplikasi dari aytem-aytem jenis software yang diproduksinya, yang mana dalam status inilah penulis memanggil A Ganjar dengan sebutan: 'Pa Ganjar', dalam suatu bentuk hubungan profèsionalismeu bermuamalah, sejak tahun 2004 hingga sekitar tahun 2008. Software modifikasi yang dirancang olèh Pa Ganjar, mempunyai banyak keunggulan, yang mana satu di antaranya adalah sebagaimana yang penulis kaji dalam fungsi khusus pengontrolan stok, atau Inventory Control System.
___
Suntingan-1: 12/09/2018: menambahkan data mengenai Novi Ganjar Nugraha, sebagai berikut:
Pa Ganjar dalam kapasitasnya sebagai pembuat program, adalah alumni PT. KAHAR DUTA SARANA, perusahaan yang bergerak di bidang Cash Register, yang awalnya guna penyediaan mèdia mesin pembayaran di institusi dalam melayani para kastamer, yang mana Pa Ganjar pernah bekerja sebagai programer di perusahaan tersebut.
Setelah berhenti dari perusahaan tersebut, Pa Ganjar dan tim sesama programer sempat membuat program Point of Sale, namun kemudian berpisah kongsi dan menjalani bisnis masing-masing secara mandiri. Kemudian Pa Ganjar mendirikan satu Badan Usaha berbentuk Badan Hukum CV Prosys Cipta Informasindo, sebagai sekutu aktif, bersama dengan Haji Komara Achmad Hidayat (sekutu pasifnya).
Dalam pengelolaannya, Pa Ganjar dibantu olèh beberapa orang, di antaranya: Pa Hamid, Popong, dan Pa Nurdin. Semuanya berkedudukan di Jakarta.
Ketika pada tahun 2005 penulis berkunjung ke tempat domisilinya di Jakarta Timur, Pa Ganjar mengajak penulis ke kantornya, guna mempelajari pemasaran program yang diproduksinya. Kemudian, Pa Nurdinlah yang mengajari penulis mengenali mèdan: Jakarta, Kota Bogor, dan Dèpok. Beberapa hari kami bersama di lapangan pemasaran arèa-arèa tersebut. Setelah itu, ketika penulis hendak kembali ke Bandung, Pa Ganjar menawari penulis guna bekerjasama dengan perusahaannya yang telah berdiri di Jakarta, dengan arèa yang dapat penulis garap adalah Kota Bandung dan sekitarnya.
Penulis sempat kurang percaya diri guna memasarkan suatu barang yang mana penulis belum begitu menguasainya, apalagi arèa yang akan digarap adalah arèa yang berjauhan dari tempat kedudukan Pa Ganjar sebagai programer pembuat Software Prosys. Penulis merasa khawatir apabila sewaktu-waktu terjadi trabel kendala tèknis, baik dalam kara hardware ataupun softwarenya penulis belum dapat menanganinya sendirian.
Selanjutnya Pa Ganjar meyakinkan penulis bahwa apabila yang dikhawatirkan adalah dalam hal sofwèr maka hal tersebut dapat ditangani secara mandiri apabila ada komunikasi dengannya pada saat mengoperasikan sofwèrnya dan menemukan trabel, meskipun hal tersebut adalah komunikasi dalam jarak jauh tanpa berjumpa secara fisik, cukup melalui telepon maka nanti Pa Ganjar akan memandu langkah-langkah tèknis yang perlu penulis lakukan guna menangani kalau ada suatu kendala yang timbul pada saat mengoperasikan software buatannya.
Kemudian Pa Ganjar mengajari penulis beberapa hal penting yang perlu diketahui berkaitan dengan penanganan software buatannya apabila sewaktu saat penulis mengalami kendala dengan kastamer yang membeli dari penulis. Satu di antara beberapa pengetahuan yang ditransfer langsung kepada penulis adalah mengenai tèhnik "rename" pada suatu folder, ataupun 'mengubah penamaan suatu folder' menggunakan perintah-perintah Sistem DOS ("Disck Operating System). Adapun pada saat tulisan ini disusun, penulis bukan menggunakan Operating System yang terdahulu itu, namun menggunakan fasilitas yang disediakan di dalam blogger dot com guna membangun suatu blogspot sebagaimana yang kini lagi penulis gunakan dalam menyusun sèmpel biografi ini.
Jadi, pada prinsipnya Pa Ganjar menyiapkan penulis sebagai mitra usaha dalam posisi penulis adalah pembeli produknya, bukan sebagai karyawan internal di perusahaannya. Artinya pula, segala rèsiko di luar spèsifikasi produk buatannya yang dibeli olèh kastemer penulis menjadi tanggung jawab penulis, baik penawaran, pengadaan, suport mèintenèns, beserta rèsiko-rèsiko keuntungan maupun rèsiko kerugiannya.
DETEKSI HUBUNGAN-HUBUNGAN GÈNÈALOGI
A Ganjar, adalah nama panggilan informal yang dilakukan olèh seluruh cucu Aki Soemantri Dendadimadja, kecuali A Ugun, yang merupakan Kaka Sepupu A Ganjar, bahkan A Ganjarlah yang memanggil A Ugun dengan sebutan: 'A' di depan nama: 'Ugun'. Menurut Pa Budi Priyatna:
"Ngaran aslina Gungun Guna Prawira, disebutna Si Raja Ciu, pamajikanna dilandik Si Euis Tukang Ngabohong. Mun teu ningali Bah Yoyo, nyaèta Ninina A Ugun ti Bapana, Tarmedi, nyaèta Akina, meureun geus dibabukan ku warga. HaPe ditincak bari ngaliwat," penjelasan Bapa Budi Priyatna kepada penulis, beberapa hari setelah wawancara pertama guna keperluan pembuatan blogspot mengenai Biografi Keluarga ini.
Tapi seingat penulis, A Ugun juga sering menyebut A Ganjar dengan panggilan: A Ganjar, sebagaimana para adiknya serta adik sepupu keduanya memanggil A Ganjar. Begitulah orang-orang Sunda dalam beradab kepada sesama manusia lain, saling menghargai.
A Ganjar adalah anak pertama Atih, yaitu Tien Hertina, Atih ialah anak ke-2 Aki dengan Mamih Cucu. Adapun A Ugun adalah anak pertama Uwa Tati, dan Uwa Tati ialah anak ke-1 Aki dengan Mamih Cucu. Dengan demikian, antara A Ugun dengan A Ganjar terdapat hubungan sepupu bilateral (satu Kake dan Nènè yang sama), dari jalur "ordering" matrilinèal ("ordering" = berurutan, yang mana Ibu dari keduanya adalah Kaka Beradik Bilateral langsung, tanpa terselangi.
TRADISI LISAN
Menurut Bi Titing yang disampaikan secara langsung kepada penulis pada sekitaran tahun 1991 - 1993, seingat penulis, A Ganjar mempunyai beberapa julukan di kalangan teman-teman dekatnya. Beberapa orang sahabatnya memanggil A Ganjar dengan sebutan: 'Oping', dan sebagian lagi menyebutnya: 'Jaka'. Kegemarannya membaca dan mengkolèksi buku-buku karya Ko Ping Ho, mengenai cerita Kung Fu, mungkin membuat A Ganjar mendapat julukan 'Oping'. Dan julukan 'Jaka' dimugkinkan didapatkannya dari nasab buku-buku cerita silat kolosal lainnya yang dari domain lokal.
Menurut Bi Titing pula, dalam rangka mendidik penulis, disampaikan kepada penulis bahwa A Ganjar pernah disakiti hatinya olèh seorang perempuan yang pada saat itu menjadi kekasih A Ganjar, namun perempuan itu menikahnya dengan orang lain, seorang penari.
Satu hal yang membuat Bi Titing kagum dan menghormati A Ganjar adalah sehubungan sikap A Ganjar yang 'jembar manah gedè panghampura', memberikan maafnya serta bersedia menerima kembali lalu menikahi perempuan yang pernah menjadi kekasihnya itu setelah pernah meninggalkan A Ganjar, lalu merèka menikah dan seorang anak dipunyai olèh kekasih Aa.
Bi Titing adalah 'indung beurang' bagi penulis, sesuai dengan yang dinyatakan olèh Mamah Atih, bahwa kami (2 orang Anak Kandung Bapa Budi Priyatna, dan penulis) yang pada saat itu lagi berada jauh berbèda tempat domisili dengan Ibu Kandung kami (Nina Yulia) sehubungan telah terjadi perceraian antara Bapa Budi Priyatna dengan Mamah Nina, agar menurut dan mau diasuh olèh Bi Titing, kalau pada saat Mamah Atih lagi sibuk beraktivitas. Tentu penulis dan kedua adik penulis yang pada saat itu masih berusia belum akil baligh, merasa senang saja, sehubungan kami mempunyai banyak Ibu Pengganti pada saat kami terpisahkan dari Ibu Kandung kami.
Sebelum generasi penulis dan kedua orang adik penulis turut diasuh olèh Bi Titing, beliau telah terlebih dahulu membantu Mamah Atih di rumah dalam mengurus tiga orang putra - putrinya pada saat merèka kecil dan remaja, yaitu: A Ganjar, Tèh Lita, dan Tèh Ichi. Dengan kapasitas sebagai pelaku dan saksi sejarah, maka penulis memberikan kadar kepercayaan yang cukup mamadai guna mengklasifikasikan keterangan dari Bi Titing sebagai suatu data yang dapat diyakini kebenarannya dalam suatu mètodologi sejarah yang sangat berguna dalam berbagai maksud dan tujuan dari suatu historiografi, termasuk jenis biografi.
PILIHAN SELANJUTNYA:
1. Kembali ke Halaman Aki Soemantri Dendadimadja.
2. Lihat sèmpel Pengajuan Contoh Kegunaan ICS Produksi PROSYS yang menginspirasi penulis: Kontrol Stok.
3. Lihat Progrès penulis dalam mengaplikasikan pengetahuan dasar dari Pa Ganjar mengenai "rename" tersebut dalam suatu postingan blogspot: Rename Technique dalam Blogspot.
Sunday, September 2, 2018
Budi Priyatna : The First Son Lives of Soemantri Dendadimadja
[Dalam foto: Bapa Budi (In the photograph: Father Budi)].
Ditulis berdasarkan obrolan pada Hari Senin, 30 Agustus 2018, Dayeuhkolot, saat langit reu'euk.
Wroten based on communication in Thursday, August 30th 2018, Dayeuhkolot, when the sky was greying cloud.
\\:'Ieu foto Bapa, makè kameja beureum ti Aki'.
\\:"This is my photograph, wear the red shirt a gift from Grand Father".
//:'ari nu rambutna gondrong saha?'.
//:"who is the man long haired?".
[Dalam Foto: Mang Gatot. (In the photograph: Uncle Gatot)].
\\:'Mang Gatot èta mah'.
\\:"That was Uncle Gatot".
//:'ari Mang Yuyu?'.
//:"how about Uncle Yuyu?'.
\\:'Mang Yuyu sudah tida di Nilem. Jika tida ikut dengan Atih dan Kang Unang, mungkin di Tasik, SMPU nambal jalan (proyèk). Mang Dedy di Cijagra (Parakan)'.
\\:"Uncle Yuyu was not at Nilem anymore. If he didn't follow to Atih and Old Brother Unang, might be at Tasik, SMPU covering the hole in the street (project). Uncle Dedy at Cijagra (Parakan)".
\\:'Mang Yuyu balik ka Bandung, cicing di Babakan Wates. Di nilem; Aki, Ibu, Bapa jeung Uwa Èma. Wa Tika meninggal pas Bapa keur 4 taun, Mang Yuyu 3 taun, Mang Dedy keur dipapangku, Mang Gatot acan lahir'.
\\:"Uncle Yuyu went back to Bandung, stayed at Babakan Wates. At Nilem; Grand Father, Mother,me, and Aunt Èma. Aunt Tika was die when I was 4 years old, Uncle Dedy was still huging up, Uncle Gatot wasn't yet born".
Kini Bapa sering merasa kedinginan jika di beranda, apalagi jika lagi hujan.
Present Father often getting cold if stay on the margin of the house building, and more over if raining.
//: 'ari pangalaman kasehatan kumaha?'.
//:'how about healthy experiences?'.
:\\'Pernah ogè mangsa keur masih sakola, 2 poè ka cai gè ngorondang, sabab bitis pecah ototna. Pecah di dalam; si daging renggang, aya gajihna, ti gajih kana daging misah. Kajadianna pas lagi olah raga di sakola. Kajadian ieu babarengan jeung Endang Bolèd, sahandapeun ngan awakna gedè manèhna mah'.
:\\"It was ever got when I still study in school, 2 days if go to the toilet I had to crawled, its 'cause my calf's biseps foot were broken. Innery broken; the met had a distance, there were creases, from the crease to the met were divorce. That event was at the same time with Endang Boled, younger than me, but his body was bigger he was".
:\\'Pernah ogè dirawat sebab kalèob. Pan baheula mah tèko tèh tina sèng, disimpen dina bangku. Bapa budak leutik kènèh leumpang mapay-mapay, kasèblok wèh awak'.
:\\"And I also ever got maintenance 'cause hot water. You know in the past time the tèko was made from zinc material, puted on the banco. I was a kid when I walk slowly on it, the hot water drop to my body".
://'ari nu di Bogor saha?'.
://'who was in Bogor City?'.
:\\'Di Bogor; Aki Iyus jeung Ma Upu, adina Aki, teu boga anak. Wa Èma sakola di ditu, dibaturan ku Uwa Tati, jeung Uu (Ibunya Aki) ogè. Daerah Jl. Bodongan (ayeuna Jalan Pahlawan), Perumahan Pertani, depan Perumahan Polisi dan di belakang Rumah Sakit Bersalin Melania (RS Bersalin Korban Laki-laki). Sebelum Aki, Aki Iyus jeung Ma Upu sudah meninggal, taun 80-an. Nu dines di Perhutani: Aki Iyus. Ma Upu adi saindung sabapa jeung Aki'.
:\\"In Bogor City; Grand Father Iyus and Grand Mother Upu, the young sister of Grand Father, hasn't any child. Aunt Ema got school there, accompanied by Aunt Tati, and also Uu (the mother of Grand Father). In the area of Bodongan Street (at present Pahlawan Street), Pertani's Housing Complex, in front of The Police's Housing Complex and bacwardest Melania's Birth Hospitals (A hospital for The Victims of Man). Before Grand Father, Grand Father Iyus and Grand Mother Upu was die, amouñg the years of 80. A person whom got duty in Perhutani was Grand Father Iyus. Grand Mother Upu is a young sister who has one same mother and also one same father with Grand Father".
://'urang mana Aki aslina?'.
://'where was the origin's Grand Father came from?'.
:\\'Bapana Aki orang Ujung Berung, Cinambo, ibuna Aki orang Garut'.
:\\"The Grand Father's Father was Oejoeng Beroung's people, The Mother of Grand Father was from Garut City".
:\\'Ibu Ai turunan Pekalongan, anak ka-2 ti Mama Ilyas. Mama Ilyas lahir taun 1900, bungsu, lanceuknya 9. Makam kaka kakana di Sukajadi. 1880-an ogè aya.
Lamun nu cikal 1780 kaharti teu ku kamu?'.
:\\"Mother `Ai is Pekalongan's down line of her genetical, a 2nd child of The Father of Grand Father Ilyas. The Father of Grand Father Ilyas was born in 1900, he was the last child who has had 9 persons older of brother and sister. The grove of his older brother and sister at Sukajadi. There was also an old brother or sister who was born amoung 1880. (How) if the first older was born in 1780 can you understand?".
:\\'Tah lamun indungna Aki, lahirna 7 taun setelah Krakatau 1883. Jadi 1890, nya?'.
:\\"Here if The Mother of Grand Father, she was born 7 years after Krakatau in 1883. That's equal with 1890, wasn't?".
://'Enya'.
://"Yes it was".
:\\'Maotna Buyut Salèh taun 1927 dalam usia 77 taun. Berarti lahirnya perkiraan taun lahir 1850. Kalau punya anaknya taun 1880?'.
:\\"The Grand Father of Grand Father Saleh was die in the year of 1927 in the age 77 years old. This mean aproximately he was born in the year of 1850. If he has had a child in the year of 1880?".
://'kaharti kènèh'.
://'still in understandable'.
:\\'Euweuh nu nganyahokeun lahirna taun sabaraha waè, ngan maotna wèh wungkul'.
:\\"There were no one knew nor told us the years time borning of them all, there were only their years time of death".
:\\'Bapana Aki jeung Bapana Ibu, kolot kènèh Bapana Ibu. Nama Gang Saleh, diambil dari nama Akinya Ibu. Tokoh masyarakat'.
:\\"(Between) The Father of Grand Father and The Father of Grand Mother, The Father of Grand Mother was elder. The name of Gang Saleh, being taking from the name of Grand Father of Grand Mother's name. He (Saleh) was a figure in his society's living place".
---
Sungguh aku merasa terkejut atas beberapa keterangan Bapa mengenai sejarah leluhur matrilinèalnya. Sebab taun-taun yang disebutkannya mengingatkanku pada sejarah Tarèkat Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah, yang mana pada taun 1850 Tarèkat ini didirikan setelah difusikan, lalu paska Gunung Krakatau meletus terjadi pemberontakan kaum tarèkat di Banten, yang mana kini di Banten juga masih lagi berdiam seorang cucu Bapa: Muthia M. Tiada sesuatu yang kebetulan.
Surely I feel wire to a few data of Father about his up line mothernalic's history. 'Cause the years those said by him remind me to the history of Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah, which ever in the year of 1850 this religious brotherhood communities was built up after been mergered in one thoriqoh, and after the broke of Krakatau Mountain there was foughter of thoriqoh's peoples in Banten, which today in Banten staying a Grand Daughter of Father: Muthia M. There is no an unintended event.
----
Suntingan-1: 12/09/2018: menambahkan PILIHAN SELANJUTNYA:
1. Lihat Anak Pertama Bapa Budi Priyatna: Diana Januari Priyatna.
2. Lihat Anak Ke-2 Bapa Budi Priyatna: Irma Apriani Priyatna.
2. Kembali ke Halaman Aki Soemantri Dendadimadja.